ANALISIS MAKNA KORUPSI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN
HUKUM ISLAM MENURUT MAZHAB SYAFI’I
Oleh: Muh. Yusuf, S.H.
- Analisis Makna Korupsi dalam Hukum Positif Indonesia.
Secara Yuridis dalam hukum positif Indonesia korupsi diartikan sebagai “perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dan atau bersama-sama, beberapa orang secara propesional yang berkaitan dengan kewenangan atau jabatan dalam suatu birokrasi pemerintahan dan dapat merugikan departemen atau instansi terkait.[1]
Dalam hukum tindak pidana korupsi, secara umum perbuatan tindak pidana korupsi dapat dibagi menjadi dua macam yaitu tindak pidana korupsi aktif dan tindak pidana korupsi pasif. Tindak pidana korupsi aktif merupakan tindak pidana korupsi yang rumusannya mencantumkan unsur perbuatan aktif atau perbuatan materil, juga bisa disebut sebagai perbuatan jasmani dalam arti untuk mewujudkannya perlu gerakan tubuh atau bbagian dari tubuh orang.[2] Sedangkan, Tindak pidana korupsi pasif adalah tindak pidana yang melarang orang untuk berbuat aktif.[3]
Di bawah ini pengelompokkan yang termasuk dalam korupsi aktif dan korupsi pasif adalah sebagai berikut:
- Jenis-Jenis korupsi yang tergolong dalam Korupsi Aktif adalah sebagai berikut;
- Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
- Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri dan orang lain atau korporasi yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau dapat merugikan keuangan serta perekonomian negara (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
- Memberi hadiah kepada peagawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kkedudukannya (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)
- Percobaan pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya berbat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubunga dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan mmaksud untuk mempengaruhi keputusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Pemborong ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau menjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau kepolisian nasional Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasioanl Indonesia dan Kepolisian Nasional Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar khusus pemeriksaan administrasi (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).[4]
- Adapun Korupsi Pasif adalah sebagai berikut;
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatanyya yang berentangan dengan kewajibannya (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Hakim atau advokkad yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Orang yang menerimah penyerahan barang atau keperluan tentara nasional Indonesia, atau kepolisian negara republik Indonesia yang membiarkan perbatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerimah hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, atau sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Hakim yang menerimah hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi urusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Advokad yang menerimah hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga , bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat uang diberikaan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerimah gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
Dari sini kita bisa memahami bahwa korupsi dalam hukum positif Indonesia merupakkan suatu bentuk kejahatan atas nama jabatan dan amanah negara yang diberikan keada seseorang atau korporasi, sehingga korupsi dalam hukum positif Indonesia pelakunya hanya bisa dilakukan oleh para pejabat Negara (Pegawai Negeri), aparat Penegakkan Hukum dan korporasi serta orang-orang yang bekerja atas nama negara, sehingga pelaku korupsi memiliki hubungan administrasi terhadap negara.
Adapun subjek delik dari tindak pidana korupsi dalam hal ini yang dimaksud adalah pegawai negeri, maka sangat penting untuk mengetahui tentang siapa saja yang termasuk dalam kategori pegawai negeri. Menurut pasal 1 sub 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Koorupsi 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, pegawai negeri adalah, meliputi;
- Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang kepegawaian.
- Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP.
- Orang yang menerimah gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.
- Orang yang menerimah gaji dari suatu korporasi lain yang menerimah bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau
- Orang yang menerimah gaji atau korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasiilitas negara atau masyarakat.[5]
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 telah ditentukan bahwa korporasi adalah subjek delik, dalam hal ini ketika suatu korporasi memiliki kaitan dengan pemerintahan atau jabatan pemerintahan atau korporasi yang diberih amanah dalam membantuh pemerintahan untuk bekerja atas nama negara serta korporasi yang bekerja atau memiliki kaitan dengan instansi hukum milik negara.
- Analisis Makna Korupsi dalam Pandangan Mazhab Syafi’i
Mayoritas dari ulama bermazhab syafi’iyyah dan termasuk imam Syafi’i sendiri lebih cendrung mengkategorikannya sebagai tindak pengkhianatan, karena pelakunya adalah orang yang dipercayakan untuk mengelolah harta khas negara. Menurut Imam Syafi’i seorang yang mengambil harta yang dipercayakannya untuk mengelolah harta kas negara.[6]
Dari sini kita dapat memahami bahwa dalam mazhab syafi’iyyah koruptor tidak dapat dikategorikan sebagai jinayah pencurian melainkan perbuatan koruptor adalah pengkhianatan terhadap jabatan atau amanah yang telah dilimpahkan kepadanya yang dalam istilah fiqh jinayah disebut sebagai ghulul.
Dasar hukum yang digunakan Imam Asy-Syafi’i adalah suatu riwayat ketika Umar Ibn Al-Khattab mencurigai salah seorang sahabat. Ketika itu salah seorang dari kelompok musyrikin yang sedang diperangi (dikepung) bernama Hurmuzan turun menemui Umar. Dalam dialognya dengan Umar, kata-kata Hurmuzan menyebabkan kemarahan Umar sehingga hendak dibunuh, lalu sahabat yang mendapingi hurmuzan turun membela Hurmuzan agar tidak dibunuh. Ketika itu Umar curiga bahwa bahwa sahabat yang mendapingi Hurmuzan telah menerimah suap dari Hurmuzan, dan Umar mengancam menghukum siksa sahabat tersebut jika ia tidak bisa menghadirkan saksi jika tidak bisa mengahdirkan saksi untuk menjelaskan bahwa ia tidak menerima suap dari musrikin dalam hal ini Hurmuzan.[7]
Jika kita memahami illat hukum diatas, maka logika yang digunakan adalah sulitnya dilakukan penelusuran kembali. Karena pelaku pengkhianatan melakukannya secara sembunyi-sembunyi, sehingga sangat sulit untuk ditelusuri. Oleh karena itu perlu ditetapkan hukuman untuk mencegah pelakunya. Berbeda dengan mecopet dan rampok.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam Mazhab Syafi’i, penyelewengan terhadap sebuah amanat yang telah diberikan dalam bentuk korupsi dikategorikan sebagai perbuatan al-ghulul. Imam Syafi’i berpendapat, karena pelakunya adalah orang yang dipercayakan untuk mengelolah harta khas negara.
Dalam surah Ali Imran ayat 161 yang berbicara tentang ghulul yang bermakna khianat, dalam hal ini maksudnya adalah mengkhianati kepercayaan Allah Swt. dan manusia, terutama dalam pengelolaan dan pemanfaatan harta gharimah yang telah diamanatkan kepada seseorang. Adapun Asbabunnuzul ayat ini adalah ketika perang badar, harta rampasan dari perang badar itu hilang dan oranng-orang munafik menuduh Nabi SAW. menggelapkan barang tersebut. Sehingga turunlah ayat ini. [8] adapun firman Allah Stw. dalam surah Ali-Imran ayat 161, berbunyi;
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَغُلَّۚ وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ بِمَا غَلَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفۡسٖ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ ١٦١
Artinya:
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.
Ayat ini merupakan peringatan untuk menghindari diri dari pengkhianatan terhadap amanat dalam segalah hal. Ayat ini diturunkan sebagai perintah kepada Nabi SAW. tentang keadilan didalam pembagian harta ghanimah yang didapat dalam rampasan perang, tetapi tentunya ayat ini juga ditujukan kepada seluruh ummat Muslim. Ayat di atas secara spesifik hanya berbicara tentang khianat terhadap harta rampasan perang, akan tetapi tentunya secara umum ayat diatas berbicara tentang larangan berkhianat terhadap amanah yang telah diberikan.
Al-ghulul menurut bahasa merupakan khianat, sedangka menurut Ibn Al-Katzir, ghulul merupakan pengkianatan terhadap rampasan perang atau mencuri harta tersebut, dan setiap orang yang berkhianat mengenai suautu urusan, maka ia telah berbuat ghulul. Sementara itu maksud ghulul dalam konteks korupsi merupakan tindakan penggelapan yang dilakukan seseorang untuk kepentingannya sendiri atau memperkaya diri sendiri. Adapula yang menganggap harta ghulul adalah harta yang diperoleh pejabat dengan (pemerintah atau suwasta) dengan cara yang curang atau tidak syar’i baik yang diambil harta negara maupun masyarakat.[9]
- Relasi Makna Korupsi dalam Hukum Positiv Indonesia dan Mazhab Syafi’i
Setelah kita melakukan analisis tentang makna korupsi dalam hukum positif Indonesia dan dalam pandangan mazhab Syafi’i makan kita menemukan persamaan yang sangat subtansial antara keduanya, dengan alasan sebagai berikut:
- Bahwa dalam hukum positif Indonesia pelaku korupsi merupakan pejabat negara atau orang serta korporasi yang telah diberikan amanah melakukan tugas negara yang kemudian melakukan pengkhianatan terhadap amanat yang telah diberikan, sementara dalam mazhab syafi’i korupsi dikategorikan sebagai al-ghulul sebagaimana dimaknai sebagai mengkhianatan terhadapa amanah yang diberikan.
- Bahwa sasaran kejahatan korupsi adalah mengambil uang rakyat atau uang negara yang merupakan hajat orang banyak yang telah dibebankan kepadanya untuk dikelolah namun koruptor mengambilnya dengan cara-cara yang tidak dibenarkan dalam Undang-Undang. Sehingga hal itu bisa kita anggap termasuk dalam jarimah al-ghulul.
- Dalam kajian asas hukum, bahwa korupsi tidak lagi dimasukkan sebagai delik pencurian biasa sebagaimana dimaksud dalam KUHP, akan tetapi tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga memiliki Undang-Undang Khusus. Begitupun halnya dalam mazhab Syafi’i yang tidak memasukkan kejahatan oleh orang-orang yang diberikan amanat kemudian melakukan penggelapan barang dan uang dalam menjalankan amanahnya, hal itu tidak dimasukkan dalam kategori pencurian akan tetapi dimasukkan sebagai perbuatan jarimah al-ghulul.
[1] Zainuddin, Hukum Pidana Islam, (Cet. I. Jakarta; Sinar Grafika Offest. 2007), h. 71.
[2] Adami Chazawi, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016), h. 19.
[3] Adami Chazawi, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016), h. 21.
[5] Andi Hamza “Pemnerantasan Korupsi: Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional”, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2015), h. 71
[6]Tengku Azhar, “Korupsi dalam Tinjauan Fiqih Islam” Annursolo.Com, 24 Mei 2011. https;//www.annursolo.com/page/49/. (24 Mei 2011).
[7] Tengku Azhar, “Korupsi dalam Tinjauan Fiqih Islam” Annursolo.Com, 24 Mei 2011. https;//www.annursolo.com/page/49/. (24 Mei 2011).
[8] Akmal Rudin dan Muhammad Qodri, Korupsi Ditinjau Dari Hukum Islam dan Hukm Positif, Blog Akmalrudin, https://akmalrudin91.blogspot.com/2013/04/korupsi-ditinjau-dari-hukum-islam-dan.html. (14 April 2013).
[9] Penerapan Sanksi Pidana Ta’zir Bagi Pelaku Korupsi di Indonesia